Jumat, 01 Mei 2009

ETIKA KEPERAWATAN 9


PEMBUATAN KEPUTUSAN TERHADAP MASALAH ETIS

Pada saat menghadapi masalah yang menyangkut etika, perawat harus mempunyai kemampuan yang baik untuk pasien maupun dirinya.
Beberapa ahli menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, perawat sebenarnya telah menghadapi permasalahan etis, bahkan Thompson dan Thompson menyatakan semua keputusan yang dibuat dengan, atau tentang pasien mempunyai dimensi etis.
Setiap perawat harus dapat mendeterminasi dasar-dasar yang ia miliki dalam membuat keputusan misalnya agama, kepercayaan atau falsafah moral tertentu yang menyatakan hubungan kebenaran atau kebaikan dengan keburukan.
Beberapa orang membuat keputusan dengan mempertimbangkan segi baik dan buruk dari keputusannya, ada pula yang membuat keputusan berdasarkan pengalamannya.
Dalam membuat keputusan etis, seseorang harus berpikir secara rasional, bukan emosional.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan
Faktor-faktor ini antara lain : faktor agama, sosial, ilmu pengetahuan/teknologi, legislasi/keputusan juridis, dana/keuangan, pekerjaan/posisi pasien maupun perawat, kode etik keperawatan dan hak-hak pasien.

Faktor agama dan adat istiadat
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihuni oleh penduduk dengan berbagai agama/kepercayaan dan adat istiadat. Setiap penduduk yang menjadi warga negara Indonesia harus beragama/berkepercayaan.
Contohnya adalah sebelum program KB diluncurkan sebagai program nasional sudah dilakukan suatu diskusi dengan pemuka agama tentang metode kontrasepsi, sehingga tenaga kesehatan tidak ragu-ragu saat mempromosikan program tersebut.
Selain faktor agama, faktor adat istiadat juga berpengaruh dalam membuat keputusan etis.
Contohnya adalah falsafah budaya jawa “makan tidak makan asalkan kumpul”. Falsafah ini masih dipegang erat oleh masyarakat jawa sehingga jika ada anggota keluarga yang sakit biasanya seluruh anggota keluarga akan ikut menanggung biaya RS dan sebagainya.


Faktor sosial
Faktor ini antara lain meliputi perilaku sosial dan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum dan peraturan perundang-undangan.
Contohnya adalah kaum wanita yang pada awalnya hanya sebagai ibu rumah tangga yang tergantung pada suaminya telah beralih pada pendamping suami yang mempunyai pekerjaan dan bahkan banyak yang telah menjadi wanita karir. Dengan semakin meningkatnya orang yang menekuni profesinya, semakin banyak pula yang menunda perkawinan dan banyak pula yang mempertahankan kesendirian.
Perkembangan sosial dan budaya juga berpengaruh terhadap sistem kesehatan nasional. Pelayanan kesehatan yang tadinya berorientasi pada program medis lambat laun menjadi pelayanan komprehensif dengan pendekatan tim kesehatan. Ini menyebabkan perubahan beberapa kebijakan pemerintah termasuk mahalnya biaya pengobatan.


Faktor ilmu pengetahuan dan teknologi
Kemajuan yang telah dicapai meliputi berbagai bidang. Kemajuan di bidang kesehatan telah mampu meningkatkan kualitas hidup serta memperpanjang usia manusia dengan ditemukannya berbagai mesin mekanik kesehatan, cara prosedur baru dan bahan-bahan/obat-obatan baru.
Misalnya pasien dengan gangguan ginjal dapat diperpanjang usianya berkat adanya mesian hemodialisa, ibu-ibu yang mengalami kesulitan hamil dapat dibantu dengan berbagai jenis inseminasi, kemajuan-kemajuan ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan etika.


Faktor legislasi dan keputusan juridis
Perubahan sosial dan legislasi secara konstan saling berkaitan. Setiap perubahan sosial atau legislasi menyebabkan timbulnya suatu tindakan yang merupakan reaksi perubahan tersebut. Legislasi merupakan jaminan tindakan menurut hukum sehingga orang yang bertindak tidak sesuai dengan hukum dapat menimbulkan konflik.
Hampir disemua negara, pemerintah berupaya untuk melindungi hak-hak asasi manusia dengan menyusun suatu undang-undang.
Misalnya masalah abortus merupakan topik pembicaraan yang hangat secara nasional. Di Amerika Serikat beberapa negara bagian mengijinkan adanya aborsi dengan alasan setiap ibu berhak menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan dibeberapa negara lain melarang aborsi dengan alasan perlindungan nyawa calon bayi. Selain masalah pengaturan abortus aktivitas lain juga menjadi masalah hukum, diantaranya pengaturan pengangkatan dan penjualan bayi, fertilisasi in vitro, ibu pengganti, hak pilih mati dan hak untuk menolak perawatan.


Faktor dana/keuangan
Dana/keuangan untuk membiayai pengobatan dan perawatan dapat menimbulkan konflik. Untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat, pemerintah telah banyak berupaya dengan mengadakan berbagai program yang dibiayai pemerintah. Walaupun pemerintah telah mengalokasikan dana yang besar untuk pembangunan kesehatan, namun dana ini belum sepenuhnya dapat mengatasi berbagai program atau masalah kesehatan sehingga partisipasi swasta dan masyarakat banyak digalakkan.
Contohnya program JamKesMas.


Faktor pekerjaan
Dalam pembuatan suatu keputusan. Perawat perlu mempertimbangkan posisi pekerjaannya. Sebagian besar perawat bukan merupakan tenaga yang praktik sendiri tetapi bekerja di rumah sakit, dokter praktik swasta atau institusi kesehatan yang lain.
Tidak semua keputusan pribadi perawat dapat dilaksanakan, namun harus disesuaikan dengan keputusan/aturan tempat ia bekerja.


Kode etik keperawatan
Merupakan salah satu ciri/persyaratan profesi yang memberikan arti penting dalam penentuan, pemertahanan, dan peningkatan standar profesi. Kode etik menunjukkan bahwa tanggung jawab dan kepercayaan dari masyarakat telah diterima oleh profesi.
Apabila seorang anggota melanggar kode etik profesi, maka organisasi profesi dapat memberi sanksi atau mengeluarkan anggota tersebut.


Hak-hak pasien


Teori dasar pembuatan keputusan etis
Teleologi
Deontologi (formalisme)

Secara lebih luas, teori deontologi dikembangkan menjadi lima prinsip penting :
Beneficience (kemurahan hati)
Inti dari prinsip ini adalah tanggung jawab untuk melakukan kebaikan yang menguntungkan pasien dan menghindari perbuatan yang merugikan atau membahayakan pasien.
Prinsip ini sering sulit sekali untuk diterapkan.
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya sumbangsih perawat terhadap kesejahteraan, kesehatan, keselamatan dan keamanan pasien.



Justice (keadilan)
Prinsip ini menyatakan bahwa mereka yang membutuhkan pelayanan kesehatan dalam jumlah besar juga harus mendapatkan pelayanan kesehatan dalam jumlah besar, begitu pula sebaliknya. Ketika seseorang mempunyai kebutuhan kesehatan yang besar, maka ia harus mendapatkan sumber-sumber kesehatan yang besar pula.



Otonomi
Prinsip ini menyatakan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yang mereka pilih.
Permasalahan yang muncul dari penerapan prinsip ini adalah adanya variasi kemampuan otonomi pasien yang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat kesadaran, usia, penyakit, lingkungan rumah sakit, ekonomi, tersedianya informasi, dll.



Veracity (kejujuran)
Prinsip ini didefinisikan sebagai menyatakan hal yang sebenarnya dan tidak bohong.
Perawat sering tidak memberitahukan kejadian yang sebenarnya pada pasien yang sakit parah. Namun penelitian pada pasien dalam keadaan terminal menjelaskan bahwa pasien ingin diberitahu tentang kondisinya secara jujur.



Fidelity (ketaatan)
Prinsip ini diartikan sebagai tanggung jawab untuk tetap setia dengan suatu kesepakatan.
Tanggung jawab dalam konteks hubungan perawat-pasien meliputi tanggung jawab menjaga janji, mempertahankan konfidensi dan memberikan perhatian/kepedulian.
Salah satu cara untuk menerapkan prinsip ini adalah dengan menepati janji.

Kerangka pembuatan keputusan etis
Berbagai kerangka model perbuatan keputusan etis telah dirancang oleh banyak ahli etika.
Metode jameton dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan etika keperawatan yang berkaitan dengan asuhan keperawatan pasien, seperti yang ditulis oleh Fry (1991), terdiri dari enam tahap :



Identifikasi masalah
Ini berarti mengklarifikasi masalah dilihat dari nilai-nilai, konflik dan hati nurani. Perawat juga harus mengkaji keterlibatnnya terhadap masalah etika yang timbul dan mengkaji parameter waktu untuk proses pembuatan keputusan.
Tahap ini akan memberikan jawaban pada perawat terhadap pernyataan hal apakah yang membuat tindakan benar adalah benar?. Nilai-nilai diklasifikasi dan peran perawat dalam situasi yang terjadi diidentifikasi.


Mengumpulkan data tambahan
Informasi yang dikumpulkan dalam tahap ini meliputi orang-orang dekat dengan pasien yang terlibat dalam membuat keputusan bagi pasien, harapan/keinginan dari pasien dan orang yang terlibat dalam pembuatan keputusan. Perawat kemudian membuat laporan tertulis kisah dari konflik yang terjadi.



Mengidentifikasi semua pilihan atau alternatif
Semua tindakan yang memungkinkan harus terjadi termasuk hasil yang mungkin diperoleh beserta dampaknya.
Tahap ini memberikan jawaban jenis tindakan apa yang benar?



Memikirkan masalah etis yang berkesinambungan
Ini berarti perawat mempertimbangkan nilai-nilai dasar manusia yang penting bagi individu, nilai-nilai dasar manusia yang menjadi pusat dari masalah dan prinsip-prinsip etis yang dikaitkan dengan masalah.
Tahap ini menjawab pertanyaan bagaimana aturan-aturan tertentu diterapkan pada situasi tertentu?



Membuat keputusan
Ini berarti bahwa pembuat keputusan memilih tindakan yang menurut keputusan mereka paling tepat.
Tahap ini menjawab pertanyaan etika Apa yang harus dilakukan pada situasi tertentu?



Melakukan tindakan dan mengkaji keputusan dan hasil.

Strategi penyelesaian permasalah etis
Salah satu cara menyelesaikan permasalahan etis adalah dengan melakukan rounde yang melibatkan perawat dan dokter. Ronde ini tidak difokuskan untuk menyelesaikan masalah etis tetapi lebih untuk melakukan diskusi secara terbuka tentang kemungkinan terdapat permasalahan etis.
Pembentukan dewan etik.

Contoh Pengambilan Keputusan Etik

Kasus :

Seorang wanita berumur 50 tahun menderita penyakit kanker payudara terminal dengan metastase yang telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi. Wanita tersebut mengalami nyeri tulang yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan pemberian dosis morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika istirahat dan nyeri bertambah hebat saat wanita itu mengubah posisinya. Walapun klien tampak bisa tidur namun ia sering meminta diberikan obat analgesik, dan keluarganya pun meminta untuk dilakukan penambahan dosis pemberian obat analgesik. Saat dilakukan diskusi perawat disimpulkan bahwa penambahan obat analgesik dapat mempercepat kematian klien.

Kasus di atas merupakan salah satu contoh masalah dilema etik (ethical dilemma). Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah.
Untuk membuat keputusan yang etis, seseorang harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional. Kerangka pemecahan dilema etik banyak diutarakan dan pada dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan / pemecahan masalah secara ilmiah (Thompson & Thompson, 1985).Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik sebagai berikut :

1. Mengembangkan data dasar
2. Mengidentifikasi konflik
3. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat
5. Mendefinisikan kewajiban perawat
6. Membuat keputusan


PEMECAHAN KASUS DILEMA ETIK

1. Mengembangkan data dasar :

a. Orang yang terlibat : Klien, keluarga klien, dokter, dan perawat

b. Tindakan yang diusulkan : tidak menuruti keinginan klien untuk memberikan penambahan dosis morphin.

c. Maksud dari tindakan tersebut : agar tidak membahayakan diri klien d. Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak diberikan penambahan dosis morphin, klien dan keluarganya menyalahkan perawat dan apabila keluarga klien kecewa terhadap pelayanan di bangsal mereka bisa menuntut ke rumah sakit.

2. Mengidentifikasi konflik akibat situasi tersebut :Penderitaan klien dengan kanker payudara yang sudah mengalami metastase mengeluh nyeri yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang telah ditetapkan. Klien meminta penambahan dosis pemberian morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya. Keluarga mendukung keinginan klien agar terbebas dari keluhan nyeri. Konflik yang terjadi adalah : a. Penambahan dosis pemberian morphin dapat mempercepat kematian klien.b. Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak klien.

3. Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan konsekuensi tindakan tersebuta.

Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri. Konsekuensi :1) Tidak mempercepat kematian klien2) Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung 3) Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri4) Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebutb.

Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.Konsekuensi :1) Tidak mempercepat kematian pasien2) Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan ambang nyeri)3) Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhic.

Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan apabila diperlukan. Artinya penambahan diberikan kadang-kadang pada saat tertentu misalnya pada malam hari agar klien bisa tidur cukup.

Konsekuensi :1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat cukup beristirahat. 3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.

4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan, karena dokterlah yang secara legal dapat memberikan ijin penambahan dosis morphin. Namun hal ini perlu didiskusikan dengan klien dan keluarganya mengenai efek samping yang dapat ditimbulkan dari penambahan dosis tersebut. Perawat membantu klien dan keluarga klien dalam membuat keputusan bagi dirinya. Perawat selalu mendampingi pasien dan terlibat langsung dalam asuhan keperawatan yang dapat mengobservasi mengenai respon nyeri, kontrol emosi dan mekanisme koping klien, mengajarkan manajemen nyeri, sistem dukungan dari keluarga, dan lain-lain.

5. Mendefinisikan kewajiban perawata. Memfasilitasi klien dalam manajemen nyerib. Membantu proses adaptasi klien terhadap nyeri / meningkatkan ambang nyeric. Mengoptimalkan sistem dukungand. Membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang sedang dihadapie. Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinannya6. Membuat keputusanDalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan konsekuensi masing-masing terhadap klien. Perawat dan dokter perlu mempertimbangkan pendekatan yang paling menguntungkan / paling tepat untuk klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu dilakukan terlebih dahulu misalnya manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan perhatian, atau meditasi) dan kemudian dievaluasi efektifitasnya. Apabila terbukti efektif diteruskan namun apabila alternatif tindakan tidak efektif maka keputusan yang sudah ditetapkan antara petugas kesehatan dan klien/ keluarganya akan dilaksanakan.

DISKUSI :

Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan klien namun dapat mengakibatkan kematian klien atau membantu pasien bunuh diri disebut sebagai euthanasia aktif. Di Indonesia hal ini tidak dibenarkan menurut undang-undang, karena tujuan dari euthanasia aktif adalah mempermudah kematian klien. Sedangkan euthanasia pasif bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan klien namun membiarkannya dapat berdampak pada kondisi klien yang lebih berat bahkan memiliki konsekuensi untuk mempercepat kematian klien. Walaupun sebagian besar nyeri pada kanker dapat ditatalaksanakan oleh petugas kesehatan profesional yang telah dilatih dengan manajemen nyeri, namun hal tersebut tidak dapat membantu sepenuhnya pada penderitaan klien tertentu. Upaya untuk mengurangi penderitaan nyeri klien mungkin akan mempercepat kematiannya, namun tujuan utama dari tindakan adalah untuk mengurangi nyeri dan penderitaan klien.

PRINSIP LEGAL DAN ETIK :

1. Euthanasia (Yunani : kematian yang baik) dapat diklasifikasikan menjadi aktif atau pasif. Euthanasia aktif merupakan tindakan yang disengaja untuk menyebabkan kematian seseorang. Euthanasia pasif merupakan tindakan mengurangi ketetapan dosis pengobatan, penghilangan pengobatan sama sekali atau tindakan pendukung kehidupan lainnya yang dapat mempercepat kematian seseorang. Batas kedua tindakan tersebut kabur bahkan seringkali merupakan yang tidak relevan.

2. Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek yang berbeda, diperbolehkan untuk menaikkan derajat/dosis pengobatan untuk mengurangi penderitaan nyeri klien sekalipun hal tersebut memiliki efek sekunder untuk mempercepat kematiannya.

3. Prinsip kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan orang lain (non maleficence) dapat dipertimbangkan dalam kasus ini. Mengurangi rasa nyeri klien merupakan tindakan yang bermanfaat, namun peningkatan dosis yang mempercepat kematian klien dapat dipandang sebagai tindakan yang berbahaya. Tidak melakukan tindakan adekuat untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat membahayakan klien, dan tidak mempercepat kematian klien merupakan tindakan yang tepat (doing good).

Tidak ada komentar: